Minggu, 09 September 2012

Pelayanan KIE dan Pharmeceutical Care di Apotek


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1027/Menkes/SK/IX/2004, pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care). Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien.
Defenisi asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) menurut International pharmaceutical Federation (IPF) adalah tanggung jawab profesi dalam hal farmakoterapi dengan tujuan untuk mencapai keluaran yang dapat meningkatkan atau menjaga kualitas hidup pasien. Asuhan kefarmasian merupakan proses kolaboratif yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah, dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan.
Terapi dengan obat merupakan proses kolaboratif antara pasien, dokter, farmasis dan penyelenggara pelayanan kesehatan. Proses ini merupakan proses yang harus ditingkatkan terus menerus agar penggunaan obat yang menjadi tanggung jawab bersama antara tenaga farmasis, tenaga kesehatan lain, dan pasien memperoleh keluaran terapi yang optimal. Farmasis memberikan jaminan agar obat yang diberikan adalah obat yang benar dan diperoleh maupun diberikan  dengan benar, dan pasien menggunakannya dengan benar. Segala keputusan profesional farmasis didasarkan pertimbangan atas kepentingan pasien dan aspek ekonomi yang menguntungkan pasien.  Pasien dan masyarakat betul-betul diuntungkan dengan kegiatan asuhan kefarmasian farmasis seperti ini.
1.      Konseling Promosi dan Edukasi
Menurut Kepmenkes No.1027/Menkes/SK/IX/2004, Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau salah penggunaan sediaan farmasi atau perbekalan farmasi lainnya (DepKes RI, 2004).
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (DepKes RI, 2004).
Apoteker berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat dengan cara apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet atau brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya sesuai dengan Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 (DepKes RI, 2004).
Konseling adalah suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dan pasien untuk mengidentifikasi dan memecahakan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Konseling membutuhkan kepekaan dan kemampuan dari apoteker dalam memahami dan melayani pasien/konsumen agar merasa diperhatikan dan diperlukan dengan baik.
Informasi obat adalah pemberian keterangan atau informasi yang jelas dan pasti tentang suatu obat untuk meningkatkan pemakaian obat secara rasional sehingga dapat tercapai tujuan terapi yang diinginkan. Pemberian informasi obat setidaknya dilakukan pada saat dispensing obat kepada pasien sehingga pasien dapat menggunakan obatnya dengan benar dan rasional sehingga tujuan terapi dari pengobatan tersebut dapat tercapai.
2.      Pengobatan Sendiri (Self Medication)
Pengobatan mandiri merupakan tindakan mengobati  diri sendiri dengan obat tanpa resep (OTR) yang dilakukan secara tepat guna dan bertanggung jawab. Definisi ini menurut Handbook of Nonprescription Drugs ed. 14 tahun 2004 mengandung makna bahwa oleh dan untuk diri sendiri, pengobatan mandiri harus dilakukan secara rasional, yang berarti bahwa tindakan tindakan pemilihan dan penggunaan produk bersangkutan sepenuhnya merupakan tanggung jawab yang rasional para penggunanya.
Berdasarkan Permenkes No. 919/Menkes/Per/X/1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep (OTR), pemerintah menunjukkan dukungannya dalam program pengobatan mandiri, yakni dengan menetapkan obat yang diserahkan tanpa resep. Obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.       Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan  wanita hamil, anak dibawah usia dua tahun, dan orang tua diatas 65 tahun.
b.      Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit.
c.       Penggunaan tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d.      Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
e.       Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri dlm rangka membantu masyarakat dalam pengobatan sendiri yang tepat, apoteker diapotek harus memberikan informasi mengenai terapi yang tepat, aman, dan rasional sesuai permintaan masyarakat sendiri, serta memantau hasil terapi tersebut. Untuk memantau langkah-langkah pengobatan sendiri yang telah oitempuh oleh penderita, sebaiknya apotek  mempunyai catatan pengobatan (medication record) mengenai penderita, keluhan, langkah pengobatan yang dipilih, serta jumlah obat yang diberikan.
Hal yang paling penting mengenai penyakit yang tidak disertai dengan pemeriksaan dokter, sehingga dapat diobati sendiri (self medication) seperti batuk, pilek, dan penyakit kulit biasanya pasien langsung datang ke apotek untuk mencari obat. Informasi yang dapat diberikan oleh Apoteker di apotek meliputi:
a.   Nama obat atau senyawa aktif apa yang terkandung dalam sediaan.
b.   Indikasi obat atau efek terapi dari senyawa aktif tersebut.
c.   Aturan dosis dan cara pemakaian, termasuk jumlah, frekuensi, dan lama penggunaan.
d.   Efek samping obat yang ditimbulkan dari penggunaan obat tersebut, baik ringan, berat maupun fatal dan efek samping obat yang dapat ditanggulangi sendiri atau yang harus ditangani oleh dokter.
e.   Kemungkinan adanya interaksi dengan obat lain, atau dengan makanan, hal yang perlu diperhatikan, warna urin dan feses.
f.    Pantangan dan kontraindikasi dari obat yang diberikan.
g.   Alternatif pengobatan yang tersedia selain obat yang diberikan tersebut.
h.   Anjuran-anjuran khusus pada pemakaian obat, misalnya antibiotik harus dihabiskan, diminum sebelum atau sesudah makan.
i.    Tindakan yang dilakukan bila lupa minum obat.
j.    Cara penyimpanan dan pengembalian obat bila memungkinkan.
i.    Harga obat.
3.   Pelayanan Residensial (Home Care)
Menurut Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004, pelayanan residensial (home care) adalah pelayanan apoteker sebagai care giverdalam pelayanan kefarmasian di rumah-rumah khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan terapi kronis lainnya. Apoteker sebagai care giverdiharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktifitas ini, apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar