Sabtu, 30 Juni 2012

Cara Membuat Cendol

Tips dan Cara Membuat Cendol bahan utama untuk membuat es campur yang segar untuk melepas dahaga. Dalam tips cara membuat cendol kali ini kita kan menggunakan bahan dasar dari tepung beras dengan dicampur sedikit tepung kanji. Membuat cendol dari tepung beras akan lebih lembut. Dan dengan sedikit dicampur dengan tepung kanji akan membuat cendol menjadi lebih kenyal. Untuk masalah warna cendol bisa memakai bahan pewarna makanan yang aman untuk kesehatan dan direkomendasikan.

Cara membuat cendol ini bisa menjadi ide kreatif untuk misalnya bagi anda yang ingin sekedar memulai usaha sampingan di rumah. Anda bisa berkreasi dengan bahan dasar cendol ini. Dan berikut ini cara membuatnya.

Cara membuat cendol

Cara membuat cendol yang mudah di rumah
Bahan
* Tepung beras 100 gram (1 ons)
* Tepung kanji kira-kira 2 sendok makan
* Air kira-kira 500 ml
* Pewarna makanan yang aman secukupnya

Cara membuat
1. Campurkan tepung beras dan tepung kanji.
2. Masukkan kira-kira 150 ml air, dan beri pewarna sambil diaduk hingga rata dan tercampur.
3. Sisa air didihkan di atas api yang sedang.
4. Masukkan campuran tepung tadi sedikit demi sedikit dan aduk hingga licin dan kental.
5. Siapkan panci yang berisi air biasa, atau bisa juga diisi dengan campuran es batu.
6. Siapkan cetakan cendol, biasanya berupa panci dengan lubang-lubang.
7. Tuang adonan cendol dalam keadaan panas ke dalam cetakan, dan bawahnya ditampung dalam panci yang sudah diberi air (es) tadi.
8. Tekan-tekan adonan cendol sampai habis, dan selesai cara membuat cendol ini.



Video Youtube cara membuat cendol
Di video berikut ini, cendol dibuat dengan campuran gula merah dan kacang merah.


Itulah cara membuat cendol, ternyata juga tidak terlalu sulit. Bila cendol sudah jadi anda bisa mencampurnya dengan berbagai bahan lainnya sesuai selera untuk mendapatka es cendol aneka rasa. Sesuai selera dan kreatifitas masing-masing tentunya. Selamat mencoba, semoga berhasil mempraktekkan cara membuat cendol ini.

Kamis, 28 Juni 2012

PENGENALAN PENYAKIT ARTHRITIS

PENGENALAN PENYAKIT ARTHRITIS
       Arthritis adalah istilah umum untuk peradangan (inflamasi) dan pembengkakan di daerah persendian. Terdapat lebih dari 100 macam penyakit yang mempengaruhi daerah sekitar sendi. Yang paling banyak adalah Osteoarthritis (OA), arthritis gout (pirai), arthritis rheumatoid (AR), dan fibromialgia. Gejala klinis yang sering adalah rasa sakit, ngilu, kaku, atau bengkak di sekitar sendi. Arthritis dapat mempengaruhi bagian lain dari tubuh; menyebabkan rasa sakit, kehilangan kemampuan bergerak dan kadang bengkak. Beberapa tipe arthritis 1:
1.    Osteoarthritis (OA)
Merupakan penyakit sendi degeneratif yang progresif dimana rawan kartilago yang melindungi ujung tulang mulai rusak, disertai perubahan reaktif pada tepi sendi dan tulang subkhondral yang menimbulkan rasa sakit dan hilangnya kemampuan gerak.
Insidensi dan prevalensi OA berbeda-beda antar negara. Penyakit ini merupakan jenis arthritis yang paling sering terjadi yang mengenai mereka di usia lanjut atau usia dewasa.
2.    Arthritis gout (pirai)
Arthritis jenis ini lebih sering menyerang laki-laki.
Biasanya sebagai akibat dari kerusakan sistem kimia tubuh. Kondisi ini paling sering menyerang sendi kecil, terutama ibu jari kaki. Arthritis gout hampir selalu dapat dikendalikan oleh obat dan pengelolaan diet.
3.    Arthritis Rheumatoid (AR)
Merupakan penyakit autoimun, dimana pelapis sendi mengalami peradangan sebagai bagian dari aktivitas sistem imun tubuh.
Arthritis rheumatoid adalah tipe arthritis yang paling parah dan dapat menyebabkan cacat, kebanyakan menyerang perempuan hingga tiga sampai empat kali daripada laki-laki.
4.    Ankylosing spondilitis
Tipe arthritis yang menyerang tulang belakang. Sebagai akibat peradangan, ruas tulang punggung tampak tumbuh menyatu.
5.    Juvenile arthritis (arthritis pada anak-anak)
Istilah umum bagi semua tipe arthritis yang menyerang anak-anak. Anak-anak dapat terkena Juvenile Rheumatoid Osteoarthritis atau lupus anak, ankylosing spondylitis atau tipe lain dari arthritis.
6.    Systemic Lupus Erythematosus (lupus)
Penyakit yang dapat menyebabkan radang dan merusak sendi serta jaringan penyambung (connective tissue) seluruh tubuh secara serius.
7.    Schleroderma
Penyakit yang menyerang jaringan penyambung pada seluruh tubuh yang menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit
8.    Fibromyalgia
Rasa sakit yang menyebar pada otot-otot dan menjalar ke tulang. Kebanyakan menyerang perempuan.

Istilah-istilah pada Arthritis

Amyloidosis : Sekelompok keadaan dengan bermacam-macam etiologi yang ditandai dengan penimbunan protein fibrilar yang tak dapat larut (amiloid) dalam berbagai organ dan jaringan tubuh sehingga fungsi vital terganggu. Keadaan penyakit terkait dapat berupa radang, penyakit herediter, atau neoplastik, dan deposisinya dapat terjadi setempat atau generalisata atau sistemik.
Arkus : Lengkung
Arthralgia : Nyeri sendi
Arthrocentesis : Fungsi dan aspirasi suatu sendi
Articular : Dari atau yang berkenaan dengan sendi
Atrophy : Pengurusan atau pengecilan ukuran suatu sel, jaringan,organ atau bagian tubuh
Biofeedback : Proses penyediaan suatu informasi individual, biasanya dengan pola akustik atau visual, pada satu atau beberapa variable fisiologis seperti nadi, tekanan darah atau suhu kulit, hal ini memungkinkan individu memperoleh sejumlah kontrol voluntary terhadap variabel fisiologis yang diamati.
Body Mass Index (BMI) : Berat badan dalam kg dibagi dengan kuadrat tinggi dalam meter
Calcific : Membentuk kapur
Calculi : Batu
Cartilage : Jaringan penyambung fibrosa
Carpus : Pergelangan tangan
CBC :Complete Blood Count
Cholestatic :Penghentian atau supresi aliran empedu, dengan penyebab intrahepatik atau ekstra hepatik
Comorbid :Berkenaan dengan suatu penyakit atau proses patologi lain yang berlangsung secara bersamaan.
Constitutive :Dihasilkan secara terus menerus atau dalam jumlah yang tetap, tanpa memperhatikan kondisi lingkungan atau kebutuhan.
CPPD :Calcium Pyrophosphate Dihydrate
Crepticus :(bony crepticus= bunyi gemeretak tulang)
Disability :Hilangnya kemampuan untuk berfungsi secara normal, secara fisik atau mental; cacat.
Disorder : Fungsi tidak normal
Dispepsia :Terganggunya fungsi pencernaan, rasa tidak nyaman pada epigastrum setelah makan.
Distal - jauh
Epidemic: - Menyerang banyak orang di daerah yang sama, pada waktu yang sama
Epidemiologi - Ilmu mengenai studi terhadap faktor-faktor yang menentukan dan mempengaruhi frekuensi dan distribusi penyakit, perlukaan dan peristiwa lain yang berhubungan dengan kesehatan serta penyebabnya, pada suatu populasi manusia tertentu dengan tujuan menciptakan program guna mencegah dan mengendalikan perkembangan dan perluasannya. Juga keseluruhan ilmu pengetahuan yang diperoleh dalam studi tersebut.
Exercise :Latihan fisik, gerak badan
Exfoliative :Pengelupasan dalam bentuk sisik atau lapisan
Gastrointestinal : Berkenaan, dengan atau bersambungan dengan lambung dan usus. Disebut juga enterogastric dan gastroenteric
Idiophati :Keadaan patologik yang timbul spontan atau tidak diketahui penyebabnya
Interphalangeal :Diantara dua falang yang berdekatan
Jaundice : Sindrom ditandai dengan hiperbilirubinemia dan penumpukan pigmen empedu di kulit, membrane mukosa dan sclera dengan akibat pasien kelihatan kuning, disebut juga ikterus
Lymphoproliferative :Ditandai dengan proliferasi sel sistim limforeticular, digunakan untuk merujuk neoplasma ganas.
Macula :Bercak, bintik atau penebalan
Matrix :Bahan intraselular jaringan atau jaringan tempat berkembangnya suatu struktur;
Medularis :Bagian paling dalam pada organ atau struktur
Metacarpus :Bagian tangan antara pergelangan dan jari
Metatarsus :Bagian kaki antara tarsus dan jari kaki
Metatarsophalangeal :Metatarsus dan phalanx jari kaki
Monosodium urate (MSU ) crystals :Tipe kristal yang terbentuk pada pasien GA (tanda pathognomonic dari GA)
Myelos :Sumsum
Myeloproliferative :Ditandai dengan proliferasi medularis dan ekstramedularis unsur-unsur sumsum tulang, termasuk eritoblast dll
Necrosis :Matinya sel/kelompok sel /bagian suatu struktur atau organ akibat perubahan morfologis akibat kerja enzim yang degradatif dan progresif.
Nephrolithiasis :Deposit dari berbagai kristal di ginjal, sering disebut batu
Nephropathy :Penyakit ginjal
Nociceptor :Suatu reseptor untuk nyeri yang disebabkan oleh cedera pada jaringan tubuh, cedera tersebut dapat berasal dari rangsang fisik seperti rangsang mekanik, termal, atau listrik atau dari rangsang kimia. Sebagian besar nociceptor berlokasi di kulit
Osteophytes :Tonjolan bertulang atau perumbuhan oseosa
Phalanx :Setiap tulang jari tangan atau jari kaki
Pathogenesis :Perkembangan penyakit
Pathognomonic :Karakter dari penyakit(ct, kristal MSU dalam cairan synovial dari pasien tersangka
Pathophysiology :Faal gangguan fungsi
Periarthritis :Radang jaringan di sekitar sendi
Periarticular :Terletak di sekitar sendi
Podagra :Waktu awal dari sendi metatarsophalangeal ibu jari kaki
Proliferation :Reproduksi atau multiplikasi bentuk-bentuk yang serupa, khususnya sel-sel dan kista morbid
Proximal :Paling dekat, lebih dekat dengan titik acuan, lawan kata distal
Pseudogout :Kondisi yang menyerupai GA. Ditandai dengan deposit dari calcium pyrophosphate dehydrate crystals
Tophi :Deposit asam urat, protein, dan sel inflamator yang terjadi pada pasien GA yang sudah lama
Unilateral :Hanya mengenai satu sisi
Excretion :Tindakan atau proses , fungsi ekskresi
Insidence : Laju dengan beberapa kejadian terjadi,ct: jumlah kasus baru suatu penyakit spesifik, yang terjadi selama satu masa tertentu pada populasi yang mempunyai risiko
Metatarsophalangeal :Berkenaan dengan metatarsus dan phalanx jari kaki
Metatarsus :Bagian kaki antara tarsus dan jari kaki
Myeloproliferative disorders :Suatu kelompok penyakit neoplasma, yang mungkin terkait secara histogenetisdengan sel induk multipotensial yang lazim, termasuk leukemia granulosit kronik dan akut,
Pandemi :Endemic yang meluas
Pathophysiology :The physiology of disorder function
Physiology :The science which treats of the functions of the living organism and its parts, and of the physical and chemical factors and processes involved
Polycystic :Mengandung atau terbentuk dari banyak kista
Polycythemia :Peningkatan jumlah total masa sel darah merah, di dalam darah.
Prevalence :Jumlah kasus penyakit yang terjadi dalam populasi pada waktu tertentu pada suatu titik waktu tertentu atau selama periode waktu.
Psoriasis : Dermatosis skuamosa (bersisik mirip lempengan) biasa yang kronis
Rheumatoid factor ( RF) :Antibodi yang ditujukan kepada determinan antigenik
Subcortical :Terletak dibawah kortex
Tarsus :Daerah persendian antara kaki dan tungkai bawaH
Therapy :Pelayanan yang dilakukan untuk orang sakit
Tophus :Deposit natrium urat yang berkapur yang terjadi pada penyakit pirai; bentuk tophi paling sering mengelilingi sendi-sendi pada kartilago, tulang, bursa, dan jaringan subkutan, dan pada telinga luar, menghasilkan respons peradangan kronik terhadap benda asing.
Treatment :Pengelolaan dan perawatan pasien dengan tujuan memberantas penyakit atau gangguan
Secretion :Proses penguraian suatu produk spesifik karena aktivitas kelenjar; aktivitas ini dapat berupa memisahkan zat spesifik dalam darah atau penguraian zat kimia baru. Setiap zat yang dihasilkan dengan sekresi
Xanthoma :Tumor yang mengandung sel-sel berbusa yang berisi leka, merupakan histiosit yang mengandung material lipid sitoplasm
Xanthomatosis : Suatu keadaan yang ditandai adanya xanthoma

Antibiotik : Penicilin, Cefalosporin, Makrolida, Tetrasiklin, Quinolon, Sulfonamida


       Terapi infeksi saluran napas memang tidak hanya tergantung pada antibiotika. Beberapa kasus infeksi saluran napas atas akut disebabkan oleh virus yang tidak memerlukan terapi antibiotika, cukup dengan terapi suportif. Terapi suportif berperan besar dalam mendukung sukses terapi antibiotika, karena berdampak mengurangi gejala, meningkatkan performa pasien. Obat yang digunakan dalam terapi suportif sebagian besar merupakan obat bebas yang dapat dijumpai dengan mudah, dengan pilihan bervariasi. Apoteker dapat pula berperan dalam pemilihan obat suportif tersebut. Berikut ini akan ditinjau obat-obat yang digunakan dalam terapi pokok maupun terapi suportif.
ANTIBIOTIKA
        Antibiotika digunakan dalam terapi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dengan tujuan sbb:
Ø  Terapi empirik infeksi
Ø  Terapi definitif infeksi
Ø  Profilaksis non-Bedah
Ø  Profilaksis Bedah
       Sebelum memulai terapi dengan antibiotika sangat penting untuk dipastikan apakah infeksi benar-benar ada. Hal ini disebabkan ada beberapa kondisi penyakit maupun obat yang dapat memberikan gejala/ tanda yang mirip dengan infeksi. Selain itu pemakaian antibiotika tanpa didasari bukti infeksi dapat menyebabkan meningkatnya insiden resistensi maupun potensi Reaksi Obat Berlawanan (ROB) yang dialami pasien. Bukti infeksi dapat berupa adanya tanda infeksi seperti demam, leukositosis, inflamasi di tempat infeksi, produksi infiltrate dari tempat infeksi, maupun hasil kultur. Kultur perlu dilaksanakan pada infeksi berat, infeksi kronik yang tidak memberikan respon terhadap terapi sebelumnya, pasien immunocompromised, infeksi yang menghasilkan komplikasi yang mengancam nyawa.
       Jumlah antibiotika yang beredar di pasaran terus bertambah seiring dengan maraknya temuan antibiotika baru. Hal ini di samping menambah opsi bagi pemilihan antibiotika juga menambah kebingungan dalam pemilihan, karena banyak antibiotika baru yang memiliki spektrum bergeser dari antibiotika induknya. Contoh yang jelas adalah munculnya generasi fluoroquinolon baru yang spektrumnya mencakup bakteri gram positif yang tidak dicakup oleh ciprofloksasin. Panduan dalam memilih antibiotika di samping mempertimbangkan spektrum, penetrasi ke tempat infeksi, juga penting untuk melihat ada-tidaknya gagal organ eliminasi. Berkembangnya prinsip farmakodinamika yang fokus membahas aksi bakterisidal antimikroba membantu pemilihan antibiotika. Prinsip ini mengenal adanya konsep:
Aksi antimikroba yang time-dependent. Makna dari konsep ini adalah bahwa kadar antibiotika bebas yang ada dalam plasma harus di atas minimum inhibitory concentration (MIC) sebanyak 25-50% pada interval dosis untuk bias menghambat maupun membunuh patogen. Proporsi interval dosis bervariasi tergantung spesien patogen yang terlibat. Sebagai contoh staphylococci memerlukan waktu yang pendek sedangkan untuk menghambat streptococci dan bakteri Gram negatif diperlukan waktu yang panjang. Antibiotika yang memiliki sifat ini adalah derivat β-laktam. Sehingga frekuensi pemberian β-laktam adalah 2-3 kali tergantung spesien bakteri yang menjadi target.
Aksi antimikroba yang concentration-dependent. Aksi dijumpai pada antibiotika derivat quinolon, aminoglikosida. Daya bunuh preparat ini dicapai dengan semakin tingginya konsentrasi plasma melampaui MIC. Namun tetap sebaiknya memperhatikan batas konsentrasi yang akan berakibat pada toksisitas.
Post-antibiotic Effect (PAE). Sifat ini dimiliki oleh aminoglikosida, dimana daya bunuh terhadap Gram negatif batang masih dimiliki 1-2 jam setelah antibiotika dihentikan. Berikut ini rangkuman tentang mekanisme kerja, spektrum aktivitas, prinsip dasar farmakokinetik pada beberapa antibiotika yang banyak digunakan dalam terapi infeksi saluran pernapasan. Monografi yang lebih lengkap tentang antibiotika tertera pada Lampiran 1.
1. PENICILIN
       Penicilin merupakan derifat β-laktam tertua yang memiliki aksi bakterisidaldengan mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri. Masalah resistensi akibat penicilinase mendorong lahirnya terobosan dengan ditemukannya derivat penicilin seperti methicilin, fenoksimetil penicilin yang dapat diberikan oral, karboksipenicilin yang memiliki aksi terhadap Pseudomonas sp. Namun hanya Fenoksimetilpenicilin yang dijumpai di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama Penicilin V. Spektrum aktivitas dari fenoksimetilpenicilin meliputi terhadap Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae serta aksi yang kurang kuat terhadap Enterococcus faecalis. Aktivitas terhadap bakteri Gram negative sama sekali tidak dimiliki. Antibiotika ini diabsorbsi sekitar 60-73%, didistribusikan hingga ke cairan ASI sehingga waspada pemberian pada ibu menyusui. Antibiotika ini memiliki waktu paruh 30 menit, namun memanjang pada pasien dengan gagal ginjal berat maupun terminal, sehingga interval pemberian 250 mg setiap 6 jam.
       Terobosan lain terhadap penicilin adalah dengan lahirnya derivat penicillin yang berspektrum luas seperti golongan aminopenicilin (amoksisilin) yang mencakup E. Coli, Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae. Penambahan gugus β-laktamase inhibitor seperti klavulanat memperluas cakupan hingga Staphylococcus aureus, Bacteroides catarrhalis. Sehingga saat ini amoksisilinklavulanat merupakan alternatif bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi alternatif lain setelah resisten dengan amoksisilin. Profil farmakokinetik dari amoksisilin-klavulanat antara lain bahwa absorpsi hampir komplit tidak dipengaruhi makanan. Obat ini terdistribusi baik ke seluruh cairan tubuh dan tulang bahkan dapat menembus blood brain barrier, namun penetrasinya ke dalam sel mata sangat kurang. Metabolisme obat ini terjadi di liver secara parsial. Waktu paruh sangat bervariasi antara lain pada bayi normal 3,7 jam, pada anak 1-2 jam, sedangkan pada dewasa dengan ginjal normal 07-1,4 jam. Pada pasien dengan gagal ginjal berat waktu paruh memanjang hingga 21 jam. Untuk itu perlu penyesuaian dosis, khususnya pada pasien dengan klirens kreatinin < 10 ml/menit menjadi 1 x 24 jam.
2. CEFALOSPORIN
       Merupakan derivat β-laktam yang memiliki spektrum aktivitas bervariasi tergantung generasinya. Saat ini ada empat generasi cefalosporin, seperti tertera pada tabel berikut:
Cefotaksim pada generasi tiga memiliki aktivitas yang paling luas di antara generasinya yaitu mencakup pula Pseudominas aeruginosa, B. Fragilis meskipun lemah. Cefalosporin yang memiliki aktivitas yang kuat terhadap Pseudominas aeruginosa adalah ceftazidime setara dengan cephalosporin generasi keempat, namun aksinya terhadap bakteri Gram positif lemah, sehingga sebaiknya agen ini disimpan untuk mengatasi infeksi nosokomial yang melibatkan pseudomonas. Spektrum aktivitas generasi keempat sangat kuat terhadap bakteri Gram positif maupun negatif, bahkan terhadap Pseudominas aeruginosa sekalipun, namun tidak terhadap B. fragilis.
       Mekanisme kerja golongan cefalosporin sama seperti β-laktam lain yaitu berikatan dengan penicilin protein binding (PBP) yang terletak di dalam maupun permukaan membran sel sehingga dinding sel bakteri tidak terbentuk yang berdampak pada kematian bakteri.
3. MAKROLIDA
       Eritromisina merupakan prototipe golongan ini sejak ditemukan pertama kali th 1952. Komponen lain golongan makrolida merupakan derivat sintetik dari eritromisin yang struktur tambahannya bervariasi antara 14-16 cincin lakton. Derivat makrolida tersebut terdiri dari spiramysin, midekamisin, roksitromisin, azitromisin dan klaritromisin. Aktivitas antimikroba golongan makrolida secara umum meliputi Gram positif coccus seperti Staphylococcus aureus, coagulase-negatif staphylococci, streptococci β-hemolitik dan Streptococcus spp. lain,enterococci, H. Influenzae, Neisseria spp, Bordetella spp, Corynebacterium spp, Chlamydia, Mycoplasma, Rickettsia dan Legionella spp. Azitromisin memiliki aktivitas yang lebih poten terhadap Gram negatif, volume distribusi yang lebih luas serta waktu paruh yang lebih panjang. Klaritromisin memiliki fitur farmakokinetika yang meningkat (waktu paruh plasma lebih panjang, penetrasi ke jaringan lebih besar) serta peningkatan aktivitas terhadap H. Influenzae, Legionella pneumophila.Sedangkan roksitromisin memiliki aktivitas setara dengan eritromisin, namun profil farmakokinetiknya mengalami peningkatan sehingga lebih dipilih untuk infeksi saluran pernapasan. Hampir semua komponen baru golongan makrolida memiliki tolerabilitas, profil keamanan lebih baik dibandingkan dengan eritromisin. Lebih jauh lagi derivat baru tersebut bisa diberikan satu atau dua kali sehari, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien.
4. TETRASIKLIN
       Tetrasiklin merupakan agen antimikrobial hasil biosintesis yang memiliki spektrum aktivitas luas. Mekanisme kerjanya yaitu blokade terikatnya asam amino ke ribosom bakteri (sub unit 30S). Aksi yang ditimbulkannya adalah bakteriostatik yang luas terhadap gram positif, gram negatif, chlamydia, mycoplasma, bahkan rickettsia. Generasi pertama meliputi tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin. Generasi kedua merupakan penyempurnaan dari sebelumnya yaitu terdiri dari doksisiklin, minosiklin. Generasi kedua memilki karakteristik farmakokinetik yang lebih baik yaitu antara lain memiliki volume distribusi yang lebih luas karena profil lipofiliknya. Selain itu bioavailabilitas lebih besar, demikian pula waktu paruh eliminasi lebih panjang (> 15 jam). Doksisiklin dan minosiklin tetap aktif terhadap stafilokokus yang resisten terhadap tetrasiklin, bahkan terhadap bakteri anaerob seperti Acinetobacter spp, Enterococcus yang resisten terhadap Vankomisin sekalipun tetap efektif.
5. QUINOLON
       Golongan quinolon merupakan antimikrobial oral memberikan pengaruh yang dramatis dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam nalidiksat berkembang menjadi asam pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin, norfloksacin. Generasi awal mempunyai peran dalam terapi gram-negatif infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya yaitu generasi kedua terdiri dari pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin, lomefloksasin, fleroksasin dengan spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi infeksi community-acquired maupun infeksi nosokomial. Lebih jauh lagi ciprofloksasin, ofloksasin, peflokasin tersedia sebagai preparat parenteral yang memungkinkan penggunaannya secara luas baik tunggal maupun kombinasi dengan agen lain.
       Mekanisme kerja golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat DNA-gyrase. Aktivitas antimikroba secara umum meliputi, Enterobacteriaceae, P. aeruginosa, srtaphylococci, enterococci, streptococci. Aktivitas terhadap bakteri anaerob pada generasi kedua tidak dimiliki. Demikian pula dengan generasi ketiga quinolon seperti evofloksasin,gatifloksasin, moksifloksasin. Aktivitas terhadap anaerob seperti B. fragilis, anaerob lain dan Gram-positif baru muncul pada generasi keempat yaitu trovafloksacin. Modifikasi struktur quinolon menghasilkan aktivitas terhadap mycobacteria sehingga digunakan untuk terapi TB yang resisten, lepra, prostatitis kronik, infeksi kutaneus kronik pada pasien diabetes.
       Profil farmakokinetik quinolon sangat mengesankan terutama bioavailabilitas yang tinggi, waktu paruh eliminasi yang panjang. Sebagai contoh ciprofloksasin memiliki bioavailabilitas berkisar 50-70%, waktu paruh 3-4 jam, serta konsentrasi puncak sebesar 1,51-2,91 mg/L setelah pemberian dosis 500mg. Sedangkan Ofloksasin memiliki bioavailabilitas 95-100%, dengan waktu paruh 5-8 jam, serta konsentrasi puncak 2-3mg/L paska pemberian dosis 400mg. Perbedaan di antara quinolon di samping pada spektrum aktivitasnya, juga pada profil tolerabilitas, interaksinya dengan teofilin, antasida, H2-Bloker, antikolinergik, serta profil keamanan secara umum. Resistensi merupakan masalah yang menghadang golongan quinolon di seluruh dunia karena penggunaan yang luas. Spesies yang dilaporkan banyak yang resisten adalah P. aeruginosa, beberapa streptococci, Acinetobacter spp, Proteus vulgaris, Serratia spp.
6. SULFONAMIDA
       Sulfonamida merupakan salah satu antimikroba tertua yang masih digunakan. Preparat sulfonamida yang paling banyak digunakan adalah Sulfametoksazol yang dikombinasikan dengan trimetoprim yang lebih dikenal dengan nama Kotrimoksazol. Mekanisme kerja sulfametoksazol adalah dengan menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim pada alur sintesis asam folat. Kombinasi yang bersifat sinergis ini menyebabkan pemakaian yang luas pada terapi infeksi community-acquired seperti sinusitis, otitis media akut, infeksi saluran kencing. Aktivitas antimikroba yang dimiliki kotrimoksazol meliputi kuman gram negative seperti e. coli, klebsiella, enterobacter sp, M morganii, P. mirabilis, P. vulgaris, H. Influenza, salmonella serta gram-positif seperti S. Pneumoniae, Pneumocystis carinii., serta parasit seperti Nocardia sp.

Minggu, 24 Juni 2012

PNEUMONIA


PNEUMONIA
       Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit. Pneumonia menjadi penyebab kematian tertinggi pada balita dan bayi serta menjadi penyebab penyakit umum terbanyak. Pneumonia dapat terjadi sepanjang tahun dan dapat melanda semua usia. Manifestasi klinik menjadi sangat berat pada pasien dengan usia sangat muda, manula serta pada pasien dengan kondisi kritis.
1.    ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
a.       TANDA, DIAGNOSIS & PENYEBAB
       Tanda serta gejala yang lazim dijumpai pada pneumonia adalah demam, tachypnea, takikardia, batuk yang produktif, serta perubahan sputum baik dari jumlah maupun karakteristiknya. Selain itu pasien akan merasa nyeri dada seperti ditusuk pisau, inspirasi yang tertinggal pada pengamatan naik-turunnya dada sebelah kanan pada saat bernafas.
       Mikroorganisme penyebab pneumonia meliputi: bakteri, virus, mycoplasma, chlamydia dan jamur. Pneumonia oleh karena virus banyak ,dijumpai pada pasien immunocompromised, bayi dan anak. Virus-virus yang menginfeksi adalah virus saluran napas seperti RSV, Influenza type A, parainfluenza, adenovirus.
       Ditinjau dari asal patogen, maka pneumonia dibagi menjadi tiga macam yang berbeda penatalaksanaannya.
                            i.      Community acquired pneumonia (CAP)
       Merupakan pneumonia yang didapat di luar rumah sakit atau panti jompo. Patogen umum yang biasa menginfeksi adalah Streptococcus pneumonia, H. influenzae, bakteri atypical, virus influenza, respiratory syncytial virus (RSV). Pada anak-anak pathogen yang biasa dijumpai sedikit berbeda yaitu adanya keterlibatan
Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, di samping bakteri pada pasien dewasa.
                          ii.      Nosokomial Pneumonia
       Merupakan pneumonia yang didapat selama pasien di rawat di rumah sakit. Patogen yang umum terlibat adalah bakteri nosocomial yang resisten terhadap antibiotika yang beredar di rumah sakit. Biasanya adalah bakteri enterik golongan gram negatif batang seperti E.coli, Klebsiella sp, Proteus sp. Pada pasien yang sudah lebih dulu mendapat terapi cefalosporin generasi ke-tiga, biasanya dijumpai bakteri enterik yang lebih bandel seperti Citrobacter sp., Serratia sp., Enterobacter sp.. Pseudomonas aeruginosa merupakan pathogen yang kurang umum dijumpai, namun sering dijumpai pada pneumonia yang fulminan. Staphylococcus aureus khususnya yang resisten terhadap methicilin seringkali dijumpai pada pasien yang dirawat di ICU.
                        iii.      Pneumonia Aspirasi
       Merupakan pneumonia yang diakibatkan aspirasi secret oropharyngeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan. Patogen yang menginfeksi pada Community Acquired Aspiration Pneumoniae adalah kombinasi dari flora mulut dan flora saluran napas atas, yakni meliputi Streptococci anaerob. Sedangkan pada Nosocomial Aspiration Pneumoniae bakteri yang lazim dijumpai campuran antara Gram negatif batang + S. aureus + anaerob
      
       Pneumonia didiagnosis berdasarkan tanda klinik dan gejala, hasil pemeriksaan laboratorium dan mikrobiologis, evaluasi foto x-ray dada. Gambaran adanya infiltrate dari foto x-ray merupakan standar yang memastikan diagnosis. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis dengan “shift to the left”. Sedangkan evaluasi mikrobiologis dilaksanakan dengan memeriksa kultur sputum (hati-hati menginterpretasikan hasil kultur, karena ada kemungkinan terkontaminasi dengan koloni saluran pernapasan bagian atas). Pemeriksaan mikrobiologis lainnya yang lazim dipakai adalah kultur darah, khususnya pada pasien dengan pneumonia yang fulminan, serta pemeriksaan Gas Darah Arteri (Blood Gas Arterial) yang akan menentukan keparahan dari pneumonia dan apakah perlu-tidaknya dirawat di ICU.
b.      FAKTOR RISIKO
Ø  Usia tua atau anak-anak
Ø  Merokok
Ø  Adanya penyakit paru yang menyertai
Ø  Infeksi Saluran Pernapasan yang disebabkan oleh virus
Ø  Splenektomi (Pneumococcal Pneumonia)
Ø  Obstruksi Bronkhial
Ø  Immunocompromise atau mendapat obat Immunosupressive seperti - kortikosteroid
Ø  Perubahan kesadaran (predisposisi untuk pneumonia aspirasi)
c.       KOMPLIKASI
       Komplikasi yang dihasilkan dari pneumonia antara lain atelectasis yang dapat terjadi selama fase akut maupun resolusi (penyembuhan). Area yang terinfeksi biasanya bersih dengan batuk dan nafas dalam, namun akan berubah menjadi fibrotik bila atelektasi menetap untuk jangka waktu yang panjang. Abses paru juga merupakan salah satu komplikasi pneumonia khususnya pada pneumonia aspirasi. Selain itu efusi pleura juga dapat terjadi akibat perubahan permeabilitas selaput paru tersebut (pleura). Infiltrasi bakteri ke dalam pleura menyebabkan infeksi sulit diatasi, sehingga memerlukan bantuan aspirasi. Komplikasi berikutnya adalah bakterimia akibat tidak teratasinya infeksi. Hal ini dapat terjadi pada 20-30% dari kasus.
2.    RESISTENSI
       Resistensi dijumpai pada pneumococcal semakin meningkat sepuluh tahun terakhir, khususnya terhadap penicillin. Meningkatnya resistensi terhadap penicillin juga diramalkan akan berdampak terhadap meningkatnya resistensi terhadap beberapa kelas antibiotika seperti
cefalosporin, makrolida, tetrasiklin serta kotrimoksazol. Antibiotika yang kurang terpengaruh terhadap resistensi tersebut adalah vankomisin, fluoroquinolon, klindamisin, kloramfenikol dan rifampisin.
3.    6.3. TERAPI
a.       OUTCOME
       Eradikasi mikroorganisme penyebab pneumonia, penyembuhan klinis yang paripurna.
b.      TERAPI POKOK
       Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum sempit sesuai patogen. Community-Acquired Pneumonia (CAP)
       Terapi CAP dapat dilaksanakan secara rawat jalan. Namun pada kasus yang berat pasien dirawat di rumah sakit dan mendapat antibiotika parenteral.
       Pilihan antibiotika yang disarankan pada pasien dewasa adalah golongan makrolida atau doksisiklin atau fluoroquinolon terbaru. Namun untuk dewasa muda yang berusia antara 17-40 tahun pilihan doksisiklin lebih dianjurkan karena mencakup mikroorganisme atypical yang mungkin menginfeksi. Untuk bakteri Streptococcus pneumoniae yang resisten terhadap penicillin direkomendasikan untuk terapi beralih ke derivate fluoroquinolon terbaru. Sedangkan untuk CAP yang disebabkan oleh aspirasi cairan lambung pilihan jatuh pada amoksisilin-klavulanat.
       Golongan makrolida yang dapat dipilih mulai dari eritromisin, claritromisin serta azitromisin. Eritromisin merupakan agen yang paling ekonomis, namun harus diberikan 4 kali sehari. Azitromisin ditoleransi dengan baik, efektif dan hanya diminum satu kali sehari selama 5 hari, memberikan keuntungan bagi pasien. Sedangkan klaritromisin merupakan alternatif lain bila pasien tidak dapat menggunakan eritromisin, namun harus diberikan dua kali sehari selama 10-14 hari.
Tabel 1. Antibiotika pada terapi Pneumonia
 Ket :
*) Aminoglikosida atau Ciprofloksasin dikombinasi dengan salah satu antibiotika yang terletak di bawahnya dalam kolom yang sama
**) Pneumonia berat bila disertai gagal napas, penggunaan ventilasi, sepsis
berat, gagal ginjal
       Untuk terapi yang gagal dan tidak disebabkan oleh masalah kepatuhan pasien, maka disarankan untuk memilih antibiotika dengan spektrum yang lebih luas. Kegagalan terapi dimungkinkan oleh bakteri yang resisten khususnya terhadap derivat penicillin, atau gagal mengidentifikasi bakteri penyebab pneumonia. Sebagai contoh, pneumonia atypical melibatkan Mycoplasma pneumoniae yang tidak dapat dicakup oleh penicillin.
       Beberapa pneumonia masih menunjukkan demam dan konsistensi gambaran x-ray dada karena telah terkomplikasi oleh adanya efusi pleura, empyema ataupun abses paru yang kesemuanya memerlukan penanganan infasif yaitu dengan aspirasi.
Pneumonia Nosokomial
       Pemilihan antibiotika untuk pneumonia nosokomial memerlukan kejelian, karena sangat dipengaruhi pola resistensi antibiotika baik in vitro maupun in vivo di rumah sakit. Sehingga antibiotika yang dapat digunakan tidak heran bila berbeda antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lain. Namun secara umum antibiotika yang dapat dipilih sesuai tabel 1.
4.    TERAPI PENDUKUNG
Terapi pendukung pada pneumonia meliputi :
Ø  Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang menunjukkan tanda sesak, hipoksemia.
Ø  Bronkhodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme
Ø  Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum
Ø  Nutrisi
Ø  Hidrasi yang cukup, bila perlu secara parenteral
Ø  Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam
Ø  Nutrisi yang memadai.