Senin, 22 Agustus 2011

Study Kasus Diare pada Bayi


Gambaran kasus
Bayi, 8 bulan, mengalami diare setelah diberi susu instan. Sebelumnya bayi hanya mendapatkan ASI, karena produksi ASI menurun ditambah dengan susu instan. Diare dengan BAB cair, berlemak, tanpa lendir dan darah, kadang disertai muntah. Bayi agak demam, tanpa ada batuk ataupun pilek. Kulit bayi agak keriput, dengan mata cowong dan merengek bila menangis. Bagaimana farmakoterapi terbaik pada bayi tersebut?

Identifikasi permasalahan dan rumusan masalah klinis dalam kasus
Daftar Permasalahan dan rumusan permasalahan kasus sementara :
  1. Diare
  2. BAB cair, berlemak, tanpa lendir dan darah, kadang disertai muntah.
  3. Agak demam.
  4. Kulit keriput dan mata cowong

Definisi, Patofisiologi, faktor risiko dan manifestasi klinik & Standar terapi secara umum dan standar terapi farmakoterapi.
a.       Definisi, fr dan manifestasi klinik
  1. Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan/tanpa darah dan /atau lendir dalam tinja.
  2. Faktor risiko penyebab penyakit diare adalah faktor lingkungan, berkaitan dengan sanitasi meliputi sarana air bersih (SAB), jamban, kualitas bakterologis air, saluran pembuangan air limbah (SPAL), dan kondisi rumah.
  3. Manifestasi klinik
Anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan mungkin meningkat, nafsu makan berkurang bahkan dapat tidak ada, tinja makin cair, mungkin mengandung darah dan/atau lendir, dapat terjadi gejala muntah sebelum dan atau sesudah diare, dapat terjadi dehidrasi, berat badan turun, turgor kulit dapat berkurang, selaput lendir mulut dan bibir kering.
b.      Patofisiologi
  1. Berdasarkan patofisiologinya, penyebab diare dibagi menjadi :
a.       Diare sekresi, yaitu diare yang disebabkan oleh infeksi virus, kuman patogendan apatogen; hiperperistaltik usus akibat bahan kimia atau makanan.
b.      Diare osmotik, yaitu diare yang disebabkan oleh malabsorbsi makanan atau bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir. 
  1. Berdasarkan gangguan fungsi fisiologis saluran cerna dan macam penyebab diare, maka patofisiologi diare berupa:
a. kehilangan air dan elektroiit sehingga timbul dehidrasi dengan gangguan kandungan elektrolit serta keseimbangan asam basa.
b. gangguan gizi.
c. perubahan ekologik dalam lumen usus dan mekanisme ketahanan 
3.      Manifestasi Klinis penyakit: BAB cair, berlemak, tanpa lendir dan darah, kadang disertai muntah. Bayi agak demam, tanpa ada batuk ataupun pilek. Kulit bayi agak keriput dengan mata cowong yang menandakan terjadinya dehidrasi berat.
c.       Penatalaksanaan kasus dan Standar terapinya
Penatalaksanaan dan Standar terapi dan farmakoterapi kasus:
Tujuan:
1. Penatalaksanaan:
a.  Diare dengan BAB cair membutuhkan penggantian cairan dan elektrolit terutama pada kondisi dehidrasi pada pasien sebagai upaya rehidrasi. Tujuan rehidrasi untuk mengoreksi kekurangan cairan dan elektrolit secara cepat kemudian mengganti cairan yang hilang sampai diarenya berhenti.
b.  Makanan harus diteruskan bahkan ditingkatkan selama diare untuk menghindarkan efek buruk pada status gizi.
2.  Standar Terapi:
·         Air susu ibu merupakan makanan bayi diteruskan, pemberian dengan cara menyusukan secara teratur.
·    Pada kasus intoleransi laktosa mungkin diperlukan pengurangan jumlah masukan laktosa dengan pemberian susu formula rendah laktosa atau dengan cara mengencerkan susu formula semula serta menambah kebutuhan nutrient dengan menambah makanan padat. Formula makanan padat diusahakan memenuhi kebutuhan kalori dan protein serta menghidari malabsorpsi disesuaikan dengan pendapatan kandungan sisa nutrien dalam tinja serta menghidari kandungan tinggi serat, diberikan sebagai bubur susu rendah laktosa, bubur sereal tanpa susu, bubur beras atau nasi tim rendah serat.
·     Terapi rehidrasi oral 5 ml/kg. Larutan rehodrasi oral dibuat dengan melarutkan 1 sendok makan garam dan 8 sendok makan gula dalam 1 liter air. Diminum 1 gelas kecil (200cc) setiap setelah BAB.
·         Terapi zinc 20mg/hari
·         Pemberian probiotik.
·         Pemberian air hangat secara teratur.
·       Pemberian antibiotik pada diare yang disebabkan oleh bakteri. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan jenis bakteri yang menyebabkan diare.
·         Pemberian antiemetic ondansentron.

Analisis masalah
Penetapan masalah klinik dan kemungkinan farmakoterapi
Daftar Permasalahan dan rumusan permasalahan kasus definitif:
  1. Pasien usia 8 bulan
  2. Pasien mengalami diare
  3. BAB cair, berlemak, tanpa lendir dan darah, kadang disertai muntah.
  4. Agak demam.
5.      Kulit keriput dan mata cowong menandakan pasien mengalami dehidrasi
Penetapan terapi definitif dan kemungkinan obat untuk mencapai target terapi
Tujuan terapi :        Mengatasi terjadinya dehidrasi dan menghentikan diare pasien serta meningkatkan nutrisi pasien
Terapi yang diberikan:
1. Air susu ibu merupakan makanan bayi diteruskan, pemberian dengan cara menyusukan secara teratur. Perlu upaya peningkatan produksi pada ibu dengan pengobatan.
2. Pasien kemungkinan mengalami intoleransi terhadap laktosa pada susu formula yang digunakan sehingga diperlukan pengurangan jumlah masukan laktosa dengan pemberian susu formula rendah laktosa atau dengan mengencerkan susu formula semula serta menambah kebutuhan nutrient dengan menambah makanan padat. Formula makanan padat misalnya diberikan bubur susu rendah laktosa, bubur sereal tanpa susu, bubur beras atau nasi tim rendah serat.
3. Terapi rehidrasi oral 5 ml/kg. Larutan rehodrasi oral dibuat dengan melarutkan 1 sendok makan garam dan 8 sendok makan gula dalam 1 liter air. Diminum 1 gelas kecil (200cc) setiap setelah BAB.
4.    Terapi zinc 20mg/hari
5.    Pemberian probiotik.
6.  Pemberian air hangat secara teratur.
Kesimpulan
a.       Diare yang dialami oleh pasien adalah diare yang disebabkan oleh malabsorbsi makanan dan termasuk diare osmotik.
b.      Terapi untuk pasien diantaranya :
1. Air susu ibu merupakan makanan bayi diteruskan, pemberian dengan cara menyusukan secara teratur. Perlu upaya peningkatan produksi pada ibu dengan pengobatan.
2. Pasien kemungkinan mengalami intoleransi terhadap laktosa pada susu formula yang digunakan sehingga diperlukan pengurangan jumlah masukan laktosa dengan pemberian susu formula rendah laktosa atau dengan mengencerkan susu formula semula serta menambah kebutuhan nutrient dengan menambah makanan padat. Formula makanan padat misalnya diberikan bubur susu rendah laktosa, bubur sereal tanpa susu, bubur beras atau nasi tim rendah serat.
3. Terapi rehidrasi oral 5 ml/kg. Larutan rehodrasi oral dibuat dengan melarutkan 1 sendok makan garam dan 8 sendok makan gula dalam 1 liter air. Diminum 1 gelas kecil (200cc) setiap setelah BAB.
7.    Terapi zinc 20mg/hari
8.    Pemberian probiotik.
9.    Pemberian air hangat secara teratur.

Jumat, 19 Agustus 2011

Uji Sitotoksik

Uji Sitotoksik
Dasar dari uji sitotoksik adalah kemampuan sel untuk bertahan hidup karena adanya  senyawa toksik. Kemampuan sel untuk bertahan hidup dapat diartikan sebagai tidak hilangya metabolik atau proliferasi dan dapat diukur dari bertambahnya jumlah sel, naiknya jumlah protein, atau DNA yang disintesis. Metode yang digunakan untuk mengukur kemampuan bertahan hidup dan proliferasi adalah plating efficiency dengan parameter pengujian perbedaan konsentrasi sampel, perbedaan waktu paparan dan kerapatan sel (Fresney,1996).
Uji sitotoksik secara in vitro menggunakan kultur sel digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antikanker dari suatu senyawa. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh system uji sitotoksik, baik untuk evaluasi keamanan senyawa atau untuk mendeteksi aktivitas antikanker suatu senyawa. Sistem uji tersebut harus menghasilkan kurva dosis respon yang reproduksibel dan menggambarkan efek senyawa yang sama bila diberikan secara in vivo.  Uji sitotoksik untuk uji aktivitas antineoplastik menunjukkan adanya  perbedaan respon yang diberikan oleh sel kanker lebih besar dari sel normal (Fresney, 1996)
Uji sitotoksik dapat dilakukan dengan dua metode :
a.    Metode MTT
Metode MTT menggunakan garam kuning tetrazolium, seperti MTT [3-(4,5-Dimethylthiazol-2-yl)-2,5-Diphenyltetrazolium Bromide]. MTT akan direduksi oleh mitokondria pada sel yang hidup menjadi senyawa formazan berwarna ungu (gambar 1) dan tidak larut dalam air oleh sistem suksinate tetrazolium reduktase. Absorbansi larutan berwarna ini kemudian dapat diukur menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang antara 500 dan 600 nm (Meiyanto, 1999)
Gambar 1. reaksi reduksi MTT
b.   Metode Perhitungan Langsung
Uji sitotoksik dilakukan secara manual dengan menghitung jumlah sel hidup dibandingkan dengan kontrol. Perhitungan sel hidup secara manual dilakukan dengan pengecatan menggunakan biru tripan. Sel yang mati akan menyerap warna biru tripan sedangkan sel yang hidup tidak, hal ini disebabkan sel yang mati mengalami kerusakan pada membran selnya, sehingga protein dalam sel keluar dan berikatan dengan biru tripan. Perhitungan jumlah sel yang hidup dilakukan langsung pada hemocytometer. Perhitungan sel mati dengan pewarnaan biru tripan ini juga sulit dilakukan karena sukar membedakan sel hidup dengan sel mati. Hal ini kemungkinan disebabkan pemaparan sel dengan biru tripan yang terlalu lama sehingga sel hidup juga akan mulai menyerap warna biru tripan.

Jumat, 12 Agustus 2011

Senyawa kalkon


Senyawa kalkon merupakan salah satu senyawa flavonoid, yaitu senyawa yang kerangka karbonnya terdiri atas gugus C6-C3-C6. Strukturnya dapat dibedakan dari senyawa flavonoid lain dari cincin C3 yang terbuka (Gambar 1). Kalkon adalah aglikon flavonoid yang pertama kali terbentuk dalam biosintesis semua varian flavonoid melalui jalur prazat dari  alur ‘siklamat’ dan alur ‘asetat malonat’ (Markham, 1998). Kalkon umumnya terdapat dalam tanaman yang termasuk keluarga Heliantheaetribe, Coreopsidinae, dan Compositae (Sastrohamidjojo, 1996).

Gambar 1. Senyawa Kalkon

Pada struktur senyawa kalkon, subtituen pada 2 cincin aromatis yang mengapit enon akan memberikan pengaruh terhadap elektrofilisitas struktur enon melalui peningkatan ataupun penurunan kerapatan elektron pada cincin aromatis. Adanya gugus pemberi elektron akan menurunkan elektrofilisitas dari cincin enon. Demikian pula sebaliknya, adanya gugus penarik elektron pada cincin c aromatis akan meningkatkan aktivitasnya sebagai agen pengalkil nukleofil biologis dalam biosintesis IL-1 sebagai antiinflamasi (Batt dkk, 1993).

Senyawa kalkon memiliki aktivitas inhibisi angiogenesis melalui adisi nukleofilik pada gugus enon (Robinson dkk, 2003). Menurut Batt dkk (1993), jembatan enon pada senyawa 2’-kalkon tersubtitusi memegang peranan penting dalam mekanisme aksi inhibitor biosintesis IL-1 karena dapat berperan sebagai agen elektrofilik pengalkilasi. Para agen pengalkilasi memberikan efek sitotoksik melalui transfer alkyl group untuk berbagai konstituen seluler. Alkilasi DNA dalam inti atom mungkin mewakili interaksi utama yang menyebabkan kematian sel (Katzung, 2006).
Senyawa pengalkilasi dapat membentuk senyawa kationik antara yang tidak stabil, diikuti pemecahan cincin membentuk ion karbonium reaktif. Ion ini bereaksi, melalui reaksi alkilasi, membentuk ikatan kovalen dengan gugus-gugus donor elektron, seperti gugus-gugus karboksilat, amin, fosfat, dan tiol, yang terdapat pada struktur asam amino, asam nukleat dan protein, yang sangat dibutuhkan untuk proses biosintesis sel. Reaksi ini membentuk hubungan melintang (cross-lingking) antara dua rangkaian DNA dan mencegah mitosis. Akibatnya proses pembentukan sel terganggu dan terjadi hambatan pertumbuhan sel kanker (Siswandono dan Soekardjo, 2000)
 

Minggu, 07 Agustus 2011

Sel T47D

Sel T47D merupakan continous cell line yang diisolasi dari jaringan tumor duktal payudara seorang wanita berusia 54 tahun. Continous cell line sering dipakai dalam penelitian kanker secara in vitro karena mudah penangannya, memiliki kemampuan replikasi yang tidak terbatas, homogenitas yang tinggi serta mudah diganti dengan frozen stock jika terjadi kontaminasi (Burdall et al., 2003). Sel T47D memiliki morfologi seperti sel epitel. Sel ini dikulturkan dalam media DMEM + 10% FBS + 2 mM L-Glutamin, diinkubasi dalam CO2 inkubator 5% dan suhu 370C (Abcam, 2007)

Uji Aktivitas Sitotoksik Senyawa p-dimetilaminokalkon dan Kalkon terhadap Sel MCF-7 dan Sel Vero

INTISARI

Salah satu jenis kanker yang umum diderita kaum wanita adalah kanker payudara. Berbagai terapi yang ada belum dapat menyembuhkan penyakit kanker payudara. Senyawa kalkon mempunyai aktivitas antikanker yang menjanjikan. Senyawa ρ-dimetilaminokalkon merupakan turunan dari senyawa kalkon. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas sitotoksik dari senyawa ρ-dimetilaminokalkon yang dibandingkan dengan senyawa kalkon pada sel MCF-7 dan sel Vero.
Metode yang digunakan pada uji aktivitas sitotoksik terhadap sel MCF-7 dan sel Vero adalah MTT Test. Seri kadar yang digunakan pada sel MCF-7 untuk senyawa p-dimetilaminokalkon dan kalkon adalah 100; 50; 25; 12,5; 6,25; 3,12; 1,56 μg/mL. Pada sel Vero, seri kadar yang digunakan untuk senyawa p-dimetilaminokalkon dan kalkon adalah 32; 16; 8; 4; 2; 1; 0,5 μg/mL. Absorbansi sel diukur pada panjang gelombang 550 nm dengan menggunakan ELISA reader. Parameter sitotoksisitas yang digunakan yaitu IC50 yang diperoleh dengan analisis probit.
Harga IC50 terhadap sel MCF-7 dari senyawa p-dimetilaminokalkon adalah 4,49 µg/mL dan 1,36 µg/mL untuk senyawa kalkon. Harga IC50 terhadap sel vero dari senyawa p-dimetilaminokalkon sebesar 47,59 µg/mL dan 13,98 µg/mL untuk senyawa kalkon. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa p-dimetilaminokalkon memiliki aktivitas sitotoksik yang lebih rendah daripada kalkon terhadap sel MCF-7 dan sel Vero.


Kata kunci : p-dimetilaminokalkon, kalkon, sel MCF-7, sel Vero, sitotoksik